Hak Perempuan dalam Kepemimpinan: Bolehkah Perempuan Memimpin?
Andreysetiawan.com- Sejak awal kehidupan manusia di dunia ini sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin baik laki-laki ataupun perempuan. Eksistensi perempuan dalam konteks kepemimpinan diberbagai lini kehidupan termasuk pemerintahan sesungguhnya merupakan suatu permasalahan ijtihadiyah yang telah lama dikaji oleh para ahli ilmu, disepanjang zaman hingga kini masih tetap aktual untuk dikaji, didiskusikan, dibahas, dan dikritisi.

Maka tidak heran bila muncul pendapat yang cenderung memperbolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin dan yang lain cenderung tidak memperbolehkannya. Namun demikian, apabila masing-masing argumentasi yang mereka bangun dianalisis secara metodologis kontekstual. Maka pandangan yang lebih logis dan rasional cenderung memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin yang dipertimbangkan maslahat (kebaikan) dan mafsadahnya (keburukan). Implikasi dari padanya lahirlah pemikiran-pemikiran yang kreatif, inovatif, dan perspektif dalam perihal kesetaraan gander dalam konteks kepemimpinan disemua lini kehidupan.
Jika dilihat dari pena sejarah islam, dalam hak-hak dikehidupan masyarakat luas termasuk dalam dunia pemerintahan. Banyak perempuan muslimah yang aktif dan menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Seperti Khatijah RA, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam pernah bergabung dalam sebuah managemen perusahaan dibawah pimpinan Khatijah RA, perempuan termasyhur di semenanjung jazirah Arab ketika itu. Hal tersebut tidak lain karena Khatijah memiliki keunggulan sumber daya manusia (SDM) dan kekuatan dalam ekonomi.
Bukan hanya itu, istri Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam sendiri yaitu Aisyah RA, pernah menjadi panglima perang sepeninggalan Rasullullah shalallahu alaihi wa salam dalam suatu kemelut politik dizaman khalifah Ali bin Abi Tholib RA, dan istemewanya beliau menjadi salah satu referensi hadist dan sunah rasulullah shalallahu alaihi wa salam yang menjadi pegangan utama kaum sunni (ahli sunah). Dan juga menjadi guru besar sebagian fuqoha (ahli fiqih) dari kalangan sahabat. Hal tersebut bila dikatakan pelanggaran yang haram, maka secara otomatis sebagian besar hadist warisan kaum sunni(ahli sunah) dari Aisyah RA, harus ditinggalakan atas prinsip tidak boleh menerima riwayat dari orang yang terang-terangan berbuat haram dan keabsahan hadistnya diragukan.
Didalam Alquran surat al-nisa [4]: 34 yang artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah memberikan keunggulan sebagian mereka atas sebagian yang lainyan dengan kemampuan mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka." Arti ayat tersebut sebenarnya tidak membatasi kepemimpinan sebagai hak monopoli kaum laki-laki. Ayat tersebut jusrtu hanya menegaskan dua alasan utama, mengapa dizaman Nabi Muhammad shalallau alaihi wa salam laki-laki lebih berpeluang menjadi pemimpin, yakni: pertama, bahwa keunggulan sumber daya manusia (SDM) ketika itu pada umumnya masih milik kaum laki-laki. Kedua : kekuatan ekonomi di zaman itu juga masih didominasi oleh kaum laki-laki. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, ternyata dua alasan di atas sudah dimiliki kaum perempuan.

Maka tidak heran bila muncul pendapat yang cenderung memperbolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin dan yang lain cenderung tidak memperbolehkannya. Namun demikian, apabila masing-masing argumentasi yang mereka bangun dianalisis secara metodologis kontekstual. Maka pandangan yang lebih logis dan rasional cenderung memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin yang dipertimbangkan maslahat (kebaikan) dan mafsadahnya (keburukan). Implikasi dari padanya lahirlah pemikiran-pemikiran yang kreatif, inovatif, dan perspektif dalam perihal kesetaraan gander dalam konteks kepemimpinan disemua lini kehidupan.
Jika dilihat dari pena sejarah islam, dalam hak-hak dikehidupan masyarakat luas termasuk dalam dunia pemerintahan. Banyak perempuan muslimah yang aktif dan menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Seperti Khatijah RA, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam pernah bergabung dalam sebuah managemen perusahaan dibawah pimpinan Khatijah RA, perempuan termasyhur di semenanjung jazirah Arab ketika itu. Hal tersebut tidak lain karena Khatijah memiliki keunggulan sumber daya manusia (SDM) dan kekuatan dalam ekonomi.
Bukan hanya itu, istri Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam sendiri yaitu Aisyah RA, pernah menjadi panglima perang sepeninggalan Rasullullah shalallahu alaihi wa salam dalam suatu kemelut politik dizaman khalifah Ali bin Abi Tholib RA, dan istemewanya beliau menjadi salah satu referensi hadist dan sunah rasulullah shalallahu alaihi wa salam yang menjadi pegangan utama kaum sunni (ahli sunah). Dan juga menjadi guru besar sebagian fuqoha (ahli fiqih) dari kalangan sahabat. Hal tersebut bila dikatakan pelanggaran yang haram, maka secara otomatis sebagian besar hadist warisan kaum sunni(ahli sunah) dari Aisyah RA, harus ditinggalakan atas prinsip tidak boleh menerima riwayat dari orang yang terang-terangan berbuat haram dan keabsahan hadistnya diragukan.
Didalam Alquran surat al-nisa [4]: 34 yang artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah memberikan keunggulan sebagian mereka atas sebagian yang lainyan dengan kemampuan mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka." Arti ayat tersebut sebenarnya tidak membatasi kepemimpinan sebagai hak monopoli kaum laki-laki. Ayat tersebut jusrtu hanya menegaskan dua alasan utama, mengapa dizaman Nabi Muhammad shalallau alaihi wa salam laki-laki lebih berpeluang menjadi pemimpin, yakni: pertama, bahwa keunggulan sumber daya manusia (SDM) ketika itu pada umumnya masih milik kaum laki-laki. Kedua : kekuatan ekonomi di zaman itu juga masih didominasi oleh kaum laki-laki. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, ternyata dua alasan di atas sudah dimiliki kaum perempuan.
Baca juga:
Keunggulan sumber daya manusia (SDM) dan kemampuan ekonomi sudah tidak menjadi monopoli kaum laki-laki. Maka dalil dari surat al-nisa [4]: 34 tidak bisa dijadikan dasar untuk menolak perempuan menjadi pemimpin. Jadi, jika kita ambil kesimpulannya surat al-nisa [4] : 34 itu lebih cenderung pada syarat untuk menjadi pemimpin. Yakni: keunggulan sumber daya manusia (SDM) dan kekuatan ekonomi.
Dalam fatwa Muhammad Sayid Thanthawi, yang merupakan Syekh Al-Azhar dikutip dari majalah ad-din wal hayat menyatakan: "Perempuan yang menduduki posisi jabatan kepala Negara tidaklah bertentangan dengan syariat karena Al-Quran memuji perempuan yang menepati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang ratu Balqis dari saba. Dan bahwasannya hal itu bertentangan dengan syariat, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini." Adapun tentang sabda Nabi bahwa: "Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita" Syekh Tantawi berkata: "Bahwa hadist ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan farsi dan Nabi tidak menyebutkan secara umum. Oleh karena itu, maka perempuan boleh menduduki jabatan sebagai kepala Negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam solat yang secara syariat tidak boleh bagi perempuan."
Mufti lain asal Mesir, Syekh Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, juga berpendapat bahwa dalam sejarah islam telah banyak pemimpin perempuan. Tercatat lebih dari 90 orang muslim yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di zaman kesultanan ustmaniyah. Menurut Syekh Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, keputusan seorang perempuan untuk memegang jabatan politik adalah keputusan pribadi antara suaminya dan dirinya sendiri.
Jika kita lihat, dewasa ini banyak tokoh perempuan yang pernah menjadi pemimpin di sebuah Negara, seperti Megawati Soekarno Putri presiden Indonesia, Halimah Yacob presiden Singapura, Benazir Bhutto perdana menteri Pakistan. Kheleda Zia perdana menteri Bangladesh, Dan masih banyak lagi. Hal tersebut tidak lain karerna adanya perubahan hukum akibat perubahan zaman dari ijtima para ulama.
Dalam teori hukum islam, apabila adat atau hukum kebiasaan setempat itu berubah, maka dapat diubah sesuai dengan lajunya kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin berkembang. Dengan berkembangnya zaman dan paham emansipasi wanita, hukum kebiasaan masyarakat islam sekarang sudah berubah, mereka sudah bisa menerima perempuan sebagai pemimpin. Dalam konteks ini, hasil ijtihad ulama pun menetapkan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin.
Dalam fatwa Muhammad Sayid Thanthawi, yang merupakan Syekh Al-Azhar dikutip dari majalah ad-din wal hayat menyatakan: "Perempuan yang menduduki posisi jabatan kepala Negara tidaklah bertentangan dengan syariat karena Al-Quran memuji perempuan yang menepati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang ratu Balqis dari saba. Dan bahwasannya hal itu bertentangan dengan syariat, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini." Adapun tentang sabda Nabi bahwa: "Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita" Syekh Tantawi berkata: "Bahwa hadist ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan farsi dan Nabi tidak menyebutkan secara umum. Oleh karena itu, maka perempuan boleh menduduki jabatan sebagai kepala Negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam solat yang secara syariat tidak boleh bagi perempuan."
Mufti lain asal Mesir, Syekh Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, juga berpendapat bahwa dalam sejarah islam telah banyak pemimpin perempuan. Tercatat lebih dari 90 orang muslim yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di zaman kesultanan ustmaniyah. Menurut Syekh Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, keputusan seorang perempuan untuk memegang jabatan politik adalah keputusan pribadi antara suaminya dan dirinya sendiri.
Jika kita lihat, dewasa ini banyak tokoh perempuan yang pernah menjadi pemimpin di sebuah Negara, seperti Megawati Soekarno Putri presiden Indonesia, Halimah Yacob presiden Singapura, Benazir Bhutto perdana menteri Pakistan. Kheleda Zia perdana menteri Bangladesh, Dan masih banyak lagi. Hal tersebut tidak lain karerna adanya perubahan hukum akibat perubahan zaman dari ijtima para ulama.
Dalam teori hukum islam, apabila adat atau hukum kebiasaan setempat itu berubah, maka dapat diubah sesuai dengan lajunya kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin berkembang. Dengan berkembangnya zaman dan paham emansipasi wanita, hukum kebiasaan masyarakat islam sekarang sudah berubah, mereka sudah bisa menerima perempuan sebagai pemimpin. Dalam konteks ini, hasil ijtihad ulama pun menetapkan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin.