Permasalahan-Permasalahan Fikih Kontemporer di Indonesia
Andreysetiawan.com - Sebagai calon ulama, kita yang notabene adalah orang yang mempelajari ilmu agama secara takhasus (mendalam) entah dari pesantren atau punk mahasiswa ilmu agama islama diharapkan dapat menjadi solusi menanggapi persoalan-persoalan saat pulang nanti. Sehingga kita harus paham dan tahu apa yang harus diselesaikan. Mengetahui permasalahan-permasalahan kontemporer yang terjadi saat ini juga akan membantu kita untuk tahu apa yang harus kita persiapkan.
Nah, pada pada artikel kali ini saya ingin memberikan penjelasan atau gambaran umum terkait permasalahan-permasalahan fikih kontenporer di Indonesia. Penasaran dengan apa saja permasalahannya? Berikut dibawah ini adalah penjelasannya.
Permasalahan-Permasalahan Fikih Kontemporer di Indonesia
Sebenarnya banyak sekali permasalahannya-permasalahan fikih yang terjadi di negara kita tercinta. Hal ini dikarenakan zaman terus berkembang dan fikihpun harus bisa menyesuaikan. Akan tetapi setidaknya pada artikel ini ada beberapa permasalahannya-permasalahan fikih kontenporer yang bisa jadi gambaran umum kalian semua.
1. Atheisme
Hal ini agaknya dipandang sepele dan aleh ya. Pasalnya kebanyakan orang hanya fokus berdebat dengan pemeluk agama lain, atau berdebat dengan pemahaman menyimpang di dalam agama (golongan literal dan golongan liberal). Padahal bahaya atheisme sudah mulai merebak meskipun tidak secara frontal.
Anak-anak muda yang beribadah karena tidak merasa itu kewajibannya ataupun ketenangan berbuat dosa karena tidak merasa ada Allah yang memperhatikannya, ini adalah bibit-bibit pemahaman tidak bertuhan yang sudah marak. Yang menyedinkannya lagi di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka masih tertulis Islam sebagai agamanya.
Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena orang tua tidak memperhatikan pendidikan agama anaknya, dan terlalu percaya kepada sekolah. Padahal bagaimana mungkin pendidikan agama disekolah akan dapat diandalkan jika durasinya saja hanya dua jam dalam seminggu?.
2. Pemurtadan
Maraknya pemurtadan yang terjadi di Indonesia terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil agaknya tidak terlalu menjadi perhatian, karena memang terjadi jauh dari lingkungan kita atau mungkin memang kita yang belum mengalaminya. Padahal masalah ini sudah ada sejak dulu dan terus berlanjut hingga saat ini.
Melayangkan kesalahan kepada agen-agen pemurtadan dalam hal ini bukanlah hal bijak, selama mereka melakukan dakwah agama mereka dengan cara yang benar. Dan yang salah adalah kita umat islam karena tidak gencar melakukan pendidikan akidah dengan metode yang tepat. Sebagaimana dijelaskan tadi, bahwa tujuan belajar akidah adalah agar iman kuat dan mampu untuk menangkal syubhat. Disini perlu ada kerjasama antara awam dan ulama. Orang awam tak ragu mendatangi ulama, ulama pun jangan enggan untuk turun ke masyarakat.
3. Aliran sesat
Masalah ini juga tidak bisa dianggap sepele Sejak 15 tahun terakhir, bermunculan di Indonesia nabi-nabi palsu yang mengaku menerima wahyu. Dan uniknya, yang membingungkan dari fenomena ini adalah bahwa tanpa adanya mukjizat pun nabi-nabi palsu ini memiliki banyak pengikut. Cukuplah ini menjadi gambaran bahwa masih banyak umat yang perlu dicerdaskan agar mampu membedakan mana yang nabi dan mana yang pendusta. Disini juga diperlukan pendidikan akidah yang benar.
4. Dukun berkedok ulama
Identitas ulama saat ini emang mula kabur bahkan orang yang mendalami agama pun masih gagap saat harus mendefinisikan siapa yang patut disebut ulama. Barangkali ini juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendulang popularitas di balik jubah wali.
Memang Islam mengakui adanya hal luar biasa yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihannya, dan ini disebut karamah. Namun namanya orang awam yang tidak belajar akan bingung membedakan antara karamah dengan sihir. Hal ini karena dua hal tersebut terlihat sama secara zahir namun akan jauh berbeda saat dikaji penyebab munculnya.
5. Mujtahid gadungan
Di era posmoderen memang banyak memberi dampak positif bagi kita; berupa kemudahan mengakses informasi dan komunikasi. Namun hal ini juga membawa pengaruh buruk terutama terhadap kesakralan fatwa yang seharusnya tidak dijadikan mainan. Saat ini banyak yang terlalu gampang berfatwa hanya bermodal Quran dan hadis saja, tanpa memiliki kecakapan dalam berijtihad. Lebih parah lagi dalil-dalil yang digunakan pun hanya sebatas dalil terjemahan. Wajar jika fatwa yang dihasilkan oleh metode cacat ini kalau tidak terlalu gampang atau terlalu sempit. Kalaupun hasil fatwa dengan metode macam ini betul pun, pelakunya tetap diganjar dosa karena mencoba melakukan sesuatu yang bukan bidangnya. Inilah akibat dan pengkerdilan keilmuan serta peran ulama-ulama terdahulu yang gencar dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Bahkan sampai ada yang berkata: "Mereka manusia, kami juga manusia. Mereka para ulama itu tidak maksum. Mau ikut Nabi atau ikut Imam Syafi? Kami tidak bermazhah, Mazhab kami adalah Quran-Sunah."
Hal ini tentu hanya dikatakan oleh orang zalim yang tidak menyadari kebodohan dirinya. Semua Imam Mujtahid tentu menyandarkan setiap fatwa mereka kepada dalil yang diakui. Kita mengikuti Quran dan Sunah tetapi melalui perantara pemahaman ulama yang diakui keilmuannya. Memang ulama mujtahid tidak ada yang maksum, tapi lebih tidak maksum lagi kita yang baru belajar kemarin sore. Dimana posisi kita dari para imam yang rata-rata hafal ratusan ribu hadis?.
Nah, disini fikih berperan, agar setiap komentar kita terhadap berbagai permasalahan agama selalu disandarkan kepada ulama yang sudah mencapai derajat ijtihad. Dan untuk memastikan bahwa komentár kita itu disandarkan secara sah, satu-satunya cara adalah belajar fikih melalui salah satu 4 mazhab yang diakui. Peran pendidikan tasawuf dan akhlak pun diperlukan agar kita lebih mampu untuk mengendalikan lidah serta tulisan saat gatal ingin berkomentar terhadap sesuatu yang memang bukan keahlian kita.
Perlu juga dijadikan renungan, bahwa munculnya mujtahid gadungan ini disebabkan oleh ketidakcakapan ulama ulama yang ada, sehingga orang awam pun meremehkan ulama dulu. Andai ada ulama sekelas Imam Syafii ataupun Imam Sibawaih di zaman ini, tentu tidak akan ada yang akan meremehkan ilmu fikih dan ilmu Bahasa Arab. Maka dari itu jadilah ulama yang memang ulama sejati yang karismanya saja mampu membungkam orang bodah.
Itulah tadi beberapa permasalahan-permasalahan fikih kontenporer di negara kita Indonesia. Jika terdapat kesalaham dalam artikel ini saya mohon maaf. Saya ucapkan terima kasih sudah membaca artikel ini dan sampai jumpa di artikel lainnya.