"Pantaskah Saya Disebut Ulama?" Mari Intropeksi Diri Sejenak
Andreysetiawan.com - Salah satu hal memprihatinkan yang menimpa umat islam satu abad terakhir adalah mengaburnya identitas ulama. Bukan hanya orang awam, bahkan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan agama pun masih banyak yang gagap saat ditanya siapa yang patut disebut ulama?.
Wajar jika pada akhirnya, yang muncul adalah pesantren-pesantren yang mengaku dapat mencetak ulama hanya dengan melatih santri-santrinya berbahasa arab serta menghafal al-Quran dan hadis, namun dibekali sangat sedikit ilmu agama. Kitab-kitab klasik tidak digunakan untuk mempelajan isinya, namun sekedar menjadi objek latihan bahasa arab. Lulusan pondok pesantren yang tidak memahami hakikat ulama ini nanti akan menjadi pribadi yang tidak mampu menjawab persoalan umat, karena ulama dalam pemahamannya hanya sebatas orang yang mampu menjadi imam, khatib, ceramah, memimpin doa, serta berbahasa Arab. Apakah menjadi ulama sesimpel itu?
Maaf, lulusan pesantren seperti ini, jika minus kemampuan bahasa arab, maka ia tak lebit hebat dari anak TPA atau MI (anak mengaji, biasanya di usia SD). Setiap ditanya permasalahan agama la baru akan merujuk pada kitab, maktabah syamilah, Google, bahkan mungkin juga akan menjawab asal-asalan dengan modal 'maslahat-mafsadat' yang tentu akan mengabaikan sanad serta metode belajar yang muktamad. Yang seperti ini, orang awam pun bisa. Tak perlu bisa berbahasa arab, tak perlu kuliah jauh ke Mesir. tak perlu masuk pesantren, mengingat kini buku-buku keislaman berbahasa arab sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Lalu siapa sih yang bisa disebut ulama?
Agaknya kita harus kembali kepada kutipan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ditiwayatkan oleh Abu Darda dalam hadis yang cukup panjang.
العلماء ورثة الأنبياء
Dari teks pendek ini sebenarnya kita sudah harus bisa memahami hakikat ulama. Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan yang diwariskan Nabi bukanlah harta, melainkan ilmu. Yang namanya menerima warisan itu adalah menerima dari pendahulu secara langsung, begitu seterusnya dan generasi ke generasi secara komprehensif dan bersambung, hingga nanti berujung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam; pemberi waris pertama
Perlu diingat, ilmu itu adalah sesuatu yang kita miliki di dalam dada, bukan sesuatu yang ada di lembaran-lembaran buku. Ilmu pun tidak hanya sekedar kumpulan maklumat-maklumat, melainkan juga kemampuan untuk mengolah maklumat-maklumat tersebut berdasarkan pola pikir yang rapi (bermanhaj).
Selain mewarisi limu, seorang alim juga mewarisi kewajiban orang yang memiliki ilmu, yang juga merupakan kewajiban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam., yaitu tablig. Dalam hal ini juga diperlukan sifat-sifat wajib Nabi yang lain, yaitu sidik, amanah serta fatanah. Untuk memenuhi tugas berat ini, syaratnya tentu tidak main-main. Wajar jika posisi ulama pun tidak main-main dan tidak boleh dipermainkan.
Jadi, bukan berarti lulusan pesantren atau perguruan tinggi Islam itu mutlak menjadi ulama. Bahkan lulusan Universitas al-Azhar pun bukan ulama jika memang tidak memiliki metode belajar. keilmuan serta paradigma yang benar. Dengan kata lain, tamatan al-Azhar pun banyak yang masih awam. Maka harus diingat, menjadi sarjana tidak serta-merta membuat seseorang menjadi ulama. Untuk itu, rajin-rajinlah menintroveksi diri.