Metode dalam Mempelajari Ilmu Syariat, Cari Tahu Yuk!
Andreysetiawan.com - Orang yang mempelajari ilmu syariat, maka orientasinya nanti adalah menjadi seorang yang alim. Tapi perlu diketahui bahwa alim bukanlah sembarang orang yang hanya bermodal ijazah ataupun penampilan meyakinkan. Menjadi alim itu butuh proses yang tidaklah mudah serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Nah, pada artikel ini saya akan jelaskan mengenai syarat menjadi orang alim dari segi metode belajar. Penasaran dengan apa saja metode belajarnya? Simak penjelasan dibawah ini sampai selesai ya.
Metode dalam Mempelajari Ilmu Syariat, Cari Tahu Yuk!
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ulama merupakan pewaris para Nabi. Dan orang yang bisa disebut pewaris adalah orang yang menerima sesuatu secara langsung dari pendahulunya, seperti berguru dengan ulama yang lebih senior, yang juga menerima ilmu tersebut dari ulama generasi sebelumnya. Begitu seterusnya hingga bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Selain ketersambungan mata rantai keilmuan, jenjang-jenjang kurikulum dalam menuntut ilmu pun perlu diperhatikan. Setiap cabang ilmu, biasanya memiliki level-level pembelajaran, mulai dan mubtadi (pemula), mutawasit (menengah), hingga muntahi (akhir).
Pelajaran untuk mubtadi (pemula) umumnya bertujuan untuk memberikan gambaran umum terhadap ilmu yang akan dipelajari, makanya kitab-kitab yang digunakan pun adalan kitab-ktab ringkas (matan). Bahkan menghafal matan-matan ini merupakan tradisi di pondok-pondok yang masih kokoh memegang prinsip untuk mencetak para ulama. Selanjutnya, level mutawasit (menengah) akan memberikan penjelasan lebih banyak diiringi dengan penerapan. Dan di level muntahi (akhir) akan dijelaskan lebih rinci, mencakup alasan-alasan, dalil, serta pembanding dari sudut pandang lain. Jika kalian ingin penjelasan lengkapnya bisa baca artikel "Penting Banget! Mengetahui Tingkatan Belajar Bagi Para Pencari Ilmu".
Makanya, orang yang hendak menjadi ulama hanya dengan modal baca buku (tanpa bimbingan guru dan tidak selektif pula memilih bahan bacaan. Maka tidak bisa dikatakan telah mewarisi keilmuan Nabi dan otomatis tidak bisa pula disebut ulama.
Wajar, karena kesesuaian pemahaman terhadap nas-nas yang tertulis di buku-buku tersebut tidak ada yang bisa menjamin, sebab tidak diambil dari sumber yang valid, tidak diambil dari dada seorang guru. Lalu bagaimana jika memang ada kesalahan cetak (tashif) yang memang wajar terjadi? Lalu bagaimana dengan pola pikir si murid dalam mengolah maklumat yang ia dapat dari bacaan?. Orang-orang yang tidak berguru seperti ini biasanya punya banyak maklumat, luas wawasan, tetapi maklumat tersebut tidak tersusun rapi, dan metode berpikirnya pun tidak terarah, atau dengan kata lain, tidak bermanhaj. Disinilah pentingnya peran seorang guru dalam membentuk manhaj muridnya.
Orang yang rajin mengikuti majlis ilmu pun (memiliki guru), namun guru yang mengajar tidak memilik buku yang menjadi pedoman ajar. Maka juga tidak akan menjadi seorang ulama. Sebab proses belajar mengajar tanpa ada kitab yang menjadi acuan adalah kesia-siaan. Boleh jadi ada pembahasan yang luput. Boleh jadi ada pembahasan yang diulang terus menerus, sebab guru tidak punya standar sudah sejauh mana ia telah mengajar. Intinya, belajar dengan kitab tanpa guru itu tidak benar dan belajar dengan guru tanpa kitab juga kurang tepat.
Imam Syafi rahimahullah mengibaratkan ilmu sebagai buruan, dan tulisan adalah ikatannya. Dalam artian, tulisan bukanlah sumber ilmu, namun adalah pengingat-ingat jika ada yang terlupa. Pun juga mungkin familiar di telinga kita, mengambil ilmu itu hendaklah dari yang punya ilmu, bukan dari bukunya. Allah juga menghilangkan ilmu bukan dengan cara membuat buku-buku terbakar dan musnah. Namun dengan cara mencabut nyawa para ulama. Para ulama berkata:
العلم في الصدور لا في سطور
Artinya: "Ilmu itu ada di dada, bukan di baris-baris lembaran (buku)".
Sebagai contoh Imam Ruyani rahimahullah pernah berkata: "Seandainya mazhab Syafi'i hilang dari muka bumi, maka saya mampu untuk menuliskannya kembali" .Hal ini menegaskan kepada kita bahwa ilmu itu adanya di dada para ulama, bukan pada rangkaian aksara.
Terakhir, yang tak kalah penting, saat kita sudah bertekad untuk mewakafkan diri mempelajari ilmu agama, maka tidak ada jalan mundur, dan tidak ada istilah belajar setengah-setengah. Karena masalah yang kini banyak muncul itu karena banyaknya ulama setengah matang yang bertebaran di masyarakat. Keliru tapi berdalil, salah tapi berkilah, ini yang berbahaya.
Nah, metode belajar di atas telah dirangkum oleh Syekh Alawi bin Ahmad As-Saqqat di dalam kitab beliau, al-Fawaid al-Makkiyah menjadi empat rukun ilmu yaitu: aqlun rajah (akal yang kuat), syaikhun fattah (guru yang mampu membuka kunci-kunci ilmu bagi muridnya), kutubun shihah (kitab-kitab sahih yang dapat dijadikan pedoman belajar) serta mudawamatun wa ilhah (konsistensi dalam belajar). Jika satu syarat ilmu ini diabaikan, maka jangan sekali-kali berharap ilmu didapatkan.
Oke, Saya kira cukup untuk artikel kali ini. Saya ucapkan terima kasih sudah berkenan untuk membaca artikel ini yang apa kadarnya. Dan sampai jumpa diartikel lainnya.