Widget HTML #1

Mengapa Kita Harus Memilih Hanya 1 Mazhab Saja, Kok Tidak Langsung 4?

Andreysetiawan.com - Penting untuk diketahui, jika di suatu negeri terdapat beberapa mufti dari mazhab yang berbeda. maka orang awam memilki kebebasan untuk mengikuti siapa saja di antara ulama yang ia percaya. tanpa memandang latar belakang mazhabnya (selama tidak jatuh pada talfiq). Hal ini karena memang setiap mujtahid itu benar dan tujuan ia bertanya adalah untuk mengetahui hukum yang langsung dipakai

Berbeda dengan orang yang belajar agama untuk menjadi calon ulama. Baginya belajar fikih itu bukan sekedar mengetahui hukum-hukum saja melainkan juga untuk membentuk pola pikir dan melatih mental fatwa agar dalam menghukumi la tidak menggunakan standar ganda. Dengan kata lain, belajar fiqih itu untuk membentuk malakah fiqhiyyah. 

Mengapa Kita Harus Memilih Hanya 1 Mazhab Saja, Kok Tidak Langsung 4? 

Mengapa Kita Harus Memilih Hanya 1 Mazhab Saja, Kok Tidak Langsung 4?

Orang yang belajar fikih dengan mazhab campur aduk, maka standar dalam mengeluarkan hukum agama juga akan campur aduk. Jika ia akan mengatakan bahwa beberapa amalan itu bid'ah karena tidak sesuai sunnah, maka lain waktu ia akan mencela orang yang berkhutbah Jumat sambil memegang tongkat karena ia menganggap hal itu kuno dan tidak dianjurkan di era moderen. Padahal memegang tongkat dalam berkhutbah itu juga sunan Nabi. 

Lagi pula, jika ingin mempelajar 4 mazhab sekaligus. Maka konsekuensinya malakah tidak mungkin terbentuk dengan baik dan waktu yang sangat panjang juga pasti dibutuhkan. Sebagai gambaran, satu mazhab saja memilika ratusan buku yang menjad referensi utama, apatah lagi 4 mazhab. Sudahlah umur habis metode keilmuan juga tidak terbentuk. Ujung-ujungnya bukan menjadi problem solver di tengah masyarakat, malah menjadi trouble maker.

Belum lagi membawa mazhab campur aduk, terutama di Indonesia akan membuat orang awam terjebak dalam perdebatan panjang tidak berujung. Qunut atau tidak? Membaca basmalah atau tidak? Duluan mana ketika sujud apakah tangan atau lutut? Awam tidak siap terhadap khilaf, apalagi khilaf-khilaf berat seperti kehalalan daging anjing yang juga merupakan pendapat ulama yang muktabar. Dengan kata lain, tiap daerah memiliki mazhab pegangan masing-masing.

Wajar jika seluruh ulama Nusantara sebelum abad 20 yang rata-rata belajar di Makkah. Seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari saat pulang hanya membawa dan mengajarkan mazhab Syafi'e. Padahal di Makkah mereka punya kesempatan untuk mempelajari mazhab lain. 

Lalu mungkinkah kita menguasai empat mazhab sekaligus? Jawabannya mungkin bisa menguasai tapi bukan sembarang orang yang bisa menguasai ke 4 mazhab sekaligus. Contohnya Imam Damanhur al-Mazahibi, digelari al Mazahibi karena beliau menguasal empat mazhab dan mampu berfatwa dari tiap-tiap mazhab. Akan tetapi untuk mencapai derajat ini sangatlah berat. Tiap mazhab harus dipelajar sesuai dengan kurikulumnya dengan dibimbing utama masing-masing mashab, ia harus menguasai mazhab Syafi'i hingga setidaknya kitab Minhajut thalbin, mazhabi maliki hingga setidaknya Mukhtashar Khalil, mazhab Hambali Syarah Muntaha, dan Hanali dengan Mukhtashar Qudun.

Belajar mazhab tanpa kurikulum yang benar nantinya akan membuat pelajar berfatwa asal-asalan. Ia akan mengatakan bahwa al-Fatihah bukanlah rukun salat dalam mazhab Hanafi, tanpa tahu bahwa orang yang tidak membaca al-fatihah dalam shalat  itu berdosa dalam mazhab tersebut. Ia mengatkan bahwa shalat orang mukim dengan tayamum itu tidak perlu diqadha dalam mazhab Syafi't, padahal shalat orang mukim dengan tayamum itu mutlak diganti, berbeda dengan musafir. 

Jika standar faqih masing-masing mazhab ini tidak dikuasai, bagaimana mungkin seseorang akan mengaku-ngaku telah menjadi mufti lintas mazhab dan dengan enteng berfatwa ini itu?. Tidak kah ada rasa takut bahwa setiap ucapan akan ada pertanggungjawaban, apalagi ucapan yang berkaitan dengan agama Allah? Tidakkah mereka tahu bahwa kesalahan yang diberi pahala adalah kesalahan setelah ijtihad? Tidakkah mereka tahu bahwa orang bodoh yang berijtihad tetap berdosa, meskipun hasil ijtihad palsu yang ia lakukan benar adanya?. 

Nah, itulah tadi artikel mengenai pemilihan dalam bermazhab. Kenapa harus memilih 1 saja tidak langsung 4?. Saya kira cukup untuk artikel kali ini. Saya ucapkan terima kasih dan sampai jumpa diartikel lainnya.